DPR dan Pemerintah Diminta Tindaklanjuti Putusan MK Soal PT

JAKARTA – Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Felia Primaresti mendorong DPR RI dan Pemerintah untuk serius menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold/PT).
Felia menilai bahwa revisi Undang-Undang Pemilu yang sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) harus dimanfaatkan untuk mengintegrasikan keputusan MK secara jelas. Langkah ini dianggap penting untuk menjaga legitimasi legislasi dan esensi demokrasi.
“Revisi UU Pemilu harus mencantumkan penghapusan ambang batas pencalonan presiden tanpa membuka ruang multitafsir. Proses revisi ini juga wajib melibatkan pemangku kepentingan seperti partai politik, akademisi, dan masyarakat sipil agar partisipasi bermakna tercapai,” kata Felia, Senin (6/1/2025).
Dalam pertimbangan hukum pada Putusan Nomor 62/PUU-XXII/202, Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan lima pedoman konstitusional terkait pencalonan presiden, salah satunya adalah larangan bagi partai politik yang tidak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Felia berpendapat bahwa ketentuan tersebut dapat memberikan dampak positif dengan mendorong partai politik untuk berperan lebih aktif dan melakukan reformasi dalam struktur internal mereka.
“Partai politik akan terdorong untuk lebih mempersiapkan kadernya, sehingga fungsi partai politik sebagai institusi demokrasi semakin terwujud. Efisiensi pemilu juga dapat ditingkatkan dengan hanya melibatkan partai yang serius mencalonkan pasangan calon,” ujarnya.
Di sisi lain, Felia juga menekankan adanya risiko yang bisa muncul, terutama untuk partai kecil. Ia berpendapat bahwa tanpa dukungan yang cukup, partai kecil bisa saja terpengaruh oleh partai besar atau koalisi dominan, yang pada akhirnya dapat mengurangi keberagaman politik dan membatasi pilihan yang tersedia bagi masyarakat.
“Kita juga harus menghindari pencalonan kandidat yang tidak memenuhi kualifikasi demi sekadar memenuhi syarat administratif,” imbuhnya.
Oleh sebab itu, Felia mengingatkan para pembuat undang-undang untuk memikirkan cara-cara perlindungan bagi partai kecil, seperti memberikan insentif yang dapat mendorong terbentuknya koalisi yang sehat serta memperkuat kapasitas partai agar tetap bisa bersaing secara kompetitif.
“Selain itu, mekanisme pendaftaran calon presiden dan wakil presiden harus diatur dengan jelas, dengan persyaratan administratif yang adil dan transparan. Pengawasan yang ketat juga diperlukan untuk menjamin pelaksanaan pemilu yang akuntabel,” sambung dia.
Selain itu, pendidikan politik untuk masyarakat juga dianggap sangat penting. Pemilih harus diberi informasi yang cukup mengenai visi, misi, program, dan rekam jejak setiap calon. Hal ini diharapkan dapat membantu mereka membuat keputusan yang rasional, sehingga dapat memperkuat kualitas demokrasi.
“Dengan begitu, mereka dapat membuat keputusan yang rasional, yang pada akhirnya ikut berkontribusi dalam memperkuat kualitas demokrasi kita,” demikian Felia.
Pada Kamis, 2 Januari 2025, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menghapus ketentuan mengenai ambang batas minimal dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dengan keputusan ini, semua partai politik kini berhak mengusulkan pasangan capres-cawapres.